Ini sebuah catatan tentang sebuah kejadian yang sebenarnya sudah tidak baru lagi. Saya jadi tergerak untuk menulis ini setelah melihat acara talk show di pagi hari dari sebuah TV swasta kita. Dengan tema talk show itu mengenai tawuran massal mahasiswa antara UKI dan UPI YAI yang sebelumnya terjadi. Tamu yang diundang pada saat itu adalah perwakilan dari kedua PTS tersebut serta (CMIIW) seorang lagi dari sebuah LSM pendidikan.
Saya buat singkatnya apa yang terjadi dalam perbincangan yang terjadi kemudian:
Pembawa acara : Seperti biasa menggiring nara sumber atau tamu ke tema yang diinginkan, yaitu dengan cepat (sesegera mungkin) menghentikan kejadian ini agar tidak terjadi kembali.
Perwakilan PTS : Berbicara ke kiri kanan atas bawah tanpa menyentuh apa yang menjadi esensi dari yang ditanyakan oleh host. Dengan kata lain menghindar.
Perwakilan LSM : Berbicara mengenai sistem pendidikan kita yang to be honest nggak nyambung sama tema talk show saat itu.
Pembawa acara : Seperti biasa menggiring nara sumber atau tamu ke tema yang diinginkan, yaitu dengan cepat (sesegera mungkin) menghentikan kejadian ini agar tidak terjadi kembali.
Perwakilan PTS : Berbicara ke kiri kanan atas bawah tanpa menyentuh apa yang menjadi esensi dari yang ditanyakan oleh host. Dengan kata lain menghindar.
Perwakilan LSM : Berbicara mengenai sistem pendidikan kita yang to be honest nggak nyambung sama tema talk show saat itu.
Berikutnya semua tamu dan nara sumber keluar dan datang kemudian tamu berikutnya yang salah satunya adalah rektor dari UI bapak Gumilar R Somantri. Sayangnya kesempatan yang diberikan pada pak rektor untuk memberikan pendapatnya mengenai masalah ini sangat pendek sekali. Namun dalam waktu yang pendek tersebut, pak rektor memberikan sebuah tanggapan yang paling mengena dalam masalah ini. Apakah tanggapan beliau, akan saya bahas berikutnya namun sebelumnya sedikit saya tanggapi mengenai pemilihan tema dan cara pembawaannya dari TV tersebut.
Jelas sekali bahwa apa yang diinginkan dan menjadi tema dari talkshow adalah bagaimana menghentikan tawuran antar mahasiswa tersebut secepat mungkin dan tidak terjadi kembali. Tema "menghentikan secepat mungkin" tampak jelas dari bagaimana pembawa acara mengarahkannya pada pertanyaan-pertanyaan yang disampaikan pada saat perbincangan. Penekanan terhadap hal ini mungkin didasari dari besarnya berita ini di masyarakat dan kerugian material yang diakibatkan dari kejadian ini juga dapat dikatakan yang terbesar. Jadi "urgency" untuk segera secepat mungkin menyelesaikan masalah ini menjadi tema utama yang diusung pada acara tersebut.
Mari kita berpikir sederhana. Kedua lokasi kampus yang terlibat tawuran praktis dapat dikatakan saling bersebelahan. Penyelesaian termudah (dan tercepat)? Pindahkan salah satu kampusnya. Problem solved. Dan itu memang apa yang kemudian terjadi. Pemerintah meminta (atau tidak meminta) salah satu kampus untuk pindah dari lokasi. Tapi apakah masalahnya semudah itu? Apakah dengan memindahkan fisik mahasiswa dan bangunannya maka kejadian seperti ini tidak akan terjadi lagi? Bagaimana dengan kampus lain yang bertetangga? Akankah menjadi bom waktu yang siap meledak suatu waktu? Apakah demikian cara pemerintah atau kita melihat akar dari permasalahan ini? Bahwa tawuran itu terjadi karena kampus mereka saling berdekatan?
Disinilah kemudian apa yang disampaikan oleh pak Gumilar R Somantri menjadi sangat menarik. Kita lihat Universitas Tarumanegara dan Trisakti kemudian Universitas Padjadjaran dan WiyataMandala. Mereka juga saling berdekatan, tapi apakah pernah sampai terjadi kejadian tawuran massal. Tidak. Saya tidak akan mengutip dengan tepat apa yang dikatakan oleh pak Gumilar R Somantri namun intinya adalah: Pihak perguruan tinggi (dan sekolah) memiliki tanggung jawab untuk menyediakan lingkungan belajar yang terbaik dan kondusif bagi mahasiswanya. Jangan memikirkan keuntungan semata dengan memanfaatkan semua tanah kosong maupun ruang yang ada sebagai kelas dengan tujuan untuk menampung sebanyak-banyaknya siswa agar mendapatkan sebanyak-banyaknya keuntungan tanpa memberikan ruang gerak bagi siswa-siswanya untuk belajar dan berekspresi secara positif.
Kita lihat keadaan kampus yang ada saat ini. Keadaanya bisa dikatakan sumpek, saling berhimpitan antara kelas, furniture, mahasiswa sampai parkir motor, mobil, tukang parkir, tukang kaki lima semuanya saling berebut tempat. Apakah tersedia ruang dan fasilitas untuk mereka berdiskusi? Mengerjakan tugas bersama? Berkesperimen dengan apa yang telah diberikan dosen mereka? Mengekspresikan diri mereka dalam lingkungan intelektual dan akademis? Apa yang kita pikirkan seandainya kita menjadi mahasiswa di tempat seperti itu? Saya rasa kita akan datang hanya untuk absen saja. Hanya itu, karena untuk melakukan hal lainnya sama sekali tidak tersedia ruang dan kesempatan di sana.
Mahasiswa merupakan fase dimana energi yang dimiliki sangat berlimpah. Tugas pendidik dalam hal ini untuk mengarahkan dan memfasilitasi mahasiswa agar memanfaatkan energi berlebih ini untuk hal yang positif. Apabila energi berlebih ini gagal tersalurkan dengan cara yang intelektual dan akademis melalui sistem pembelajaran yang diberikan di kampus, maka energi ini akan pecah tumpah ke berbagai arah. Karena itu ketika saya pertama kali mengetahui kejadian ini, yang pertama kali muncul dari pikiran saya adalah: kok bisa mahasiswa yang tawuran ini masih memiliki cukup energi untuk berbuat hal seperti itu? Dikampusnya mereka ngapain aja sampai masih punya energi untuk tawuran?
Jadi IMHO akar permasalahannya bukan pada lokasi gedung. Tapi bagaimana setiap sekolah dan perguruan tinggi komitmen dengan tanggungjawabnya pada proses mendidik siswanya menjadi yang terbaik yang bisa mereka capai. Meraup keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menjejalkan sebanyak mungkin siswa tanpa mengimbanginya dengan memberikan sistem pengajaran yang baik, pengajar yang berkualitas dan fasilitas yang baik sama sekali tidak akan bisa jalan. Mahasiswa akan menyelurkan energinya ke hal-hal lain yang belum tentu baik untuk mereka.
Seperti yang biasa saya katakan pada mahasiswa saya: Sebelumnya Anda pergi ke sekolah menggunakan motor bebek dengan kecepatan 30 km/jam. Sekarang Anda jadi mahasiswa Anda dibekali dengan motor balap. Masihkah Anda mengendarainya dengan kecepatan 30 km/jam? Selagi mereka memiliki energi berlebih, mereka harus memanfaatkannya semaksimal mungkin. Dan tugas pendidik untuk memastikan mereka untuk mamacu hingga kecepatan maksimalnya dan berprestasi di lintasan balap Grand Prix bukan di balap jalanan liar.
*Photo courtesy of Elshinta.com
0 comments:
Post a Comment